Tak ingin minum obat
Grup Fu.
Menjelang akhir tahun, urusan perusahaan menumpuk. Hingga malam, seluruh Gedung Grup Fu masih diterangi lampu-lampu tak padam.
Di ruang rapat lantai atas, jajaran tinggi duduk mengelilingi layar besar tempat perwakilan dari luar negeri terlibat dalam sambungan video.
Namun saat ini, ruang rapat sunyi senyap, tak ada yang berbicara, semua mata tertuju pada pria muda yang duduk di posisi utama.
Baru saja, pria itu menerima panggilan telepon.
Biasanya, Fu Jingshen takkan pernah mengangkat telepon saat rapat penting berlangsung.
Tapi ini bukan situasi biasa... seperti sekarang ini.
Tidak diketahui siapa yang menelepon, hanya dalam sedetik, pria yang biasanya tenang dan matang serta tidak menunjukkan emosi tiba-tiba berubah wajahnya, langsung bangkit dari kursi singgasananya.
Gesekan kursi di lantai dari belakang terdengar nyaring di gendang telinga.
Fu Jingshen yang bijaksana, kapan pernah bertindak tergesa-gesa seperti ini.
Hati para hadirin berdeg-degan, semua mengira perusahaan sedang terjadi hal mendesak.
Detik berikutnya, suara berat pria itu terdengar: "Istriku sedang tidak enak badan, rapat sementara akan dipimpin oleh Sekretaris Chu."
Sekretaris Chu menerima isyarat Fu Jingshen, terburu-buru maju dengan tenang, memberi tanda rapat bisa dilanjutkan.
Para hadirin belum sempat sadar, sosok tinggi tegap pria itu sudah menghilang di balik pintu ruang rapat.
-
Tidak tahu sudah berapa lama.
Dalam keadaan setengah sadar, Ji Ying seolah mendengar suara pintu kamar terbuka.
Dia bahkan tidak memiliki tenaga untuk bangkit, tidak hanya kepala, bahkan seluruh tubuhnya merambat rasa sakit yang halus seperti tenunan. Hidungnya tersumbat, tenggorokan kering dan sakit, bahkan bernapas pun menjadi sulit.
Ji Ying familiar dengan perasaan ini.
Familiar tapi tak berdaya.
Langkah kaki terdengar di tepi ranjang, seseorang mendekat. Ji Ying membuka kelopak mata yang berat, melihat postur tinggi ramping pria yang masih mengenakan jas rapi, seolah baru saja pergi dari rapat.
Ji Ying merasa bersalah, dari tenggorokannya keluar suara lembut: "Kakak ketiga..."
Dia tak bisa melihat ekspresi Fu Jingshen, hanya merasakan pria itu seperti mengulurkan tangan, berhenti sebentar, lalu menyingkir lagi seolah menyadari sesuatu.
Fu Jingshen melepas jasnya yang masih membawa hawa dingin.
Dari dalam selimut, dia mengeluarkan gadis yang sudah hampir meringkuk menjadi bola, meletakkan telapak tangan di tulang punggungnya yang kurus, menepuk-nepuk dengan lembut untuk menenangkan.
Ia menundukkan sorot mata, pandangannya menatap alis dan mata gadis yang seputih tembikar dan rapuh seakan akan hancur oleh sentuhan, bibir tipis terkunci rapat, jari-jari yang berada di tulang punggungnya, hampir tak terkendali, bergetar.
Ia menunduk, mencium dahinya, bersuara parau: "Dokter Chen akan segera tiba."
Ji Ying menyembunyikan wajahnya di dadanya, sangat pelan, mengangguk, "Ya."
Dikelilingi suhu tubuh hangat pria itu, seolah-olah rasa sakit pun mereda sedikit.
Ji Ying hidungnya kemerahan oleh iri, tangan kecil putihnya tak berdaya merangkul ujung jari pria itu.
Di rumah, ia jarang mengeluh.
Karena takut melihat air mata ibu, alis ayah yang berkerut. Tapi di hadapan Fu Jingshen, ingin bercerita ribuan kesedihan.
Berharap ada orang lain yang meringankan bebannya.
Jari-jari Ji Ying sedikit meringkuk merangkul jarinya.
Berbisik pelan: "Kakak ketiga, aku sangat kesakitan..."
Fu Jingshen diam-diam memeluk erat, wajahnya berangsur pucat seperti embun pagi, penuh belas kasihan mendekap gumpalan ramping dalam pelukannya.
Dagunya menempel di ubun-ubunnya, jakun bergerak perlahan, namun suaranya berat tak bersuara.
“Dokter akan segera tiba.”
Ji Ying menggigit bibir bawah dengan gigi kerang, menggesekkan mutiara air mata yang meluap di dada Fu Jingshen.
Suaranya terdengar sengau, “Aku tak ingin minum obat.”
“Juga tak mau sakit.”
Fu Jingshen mengusap lembut sudut matanya dengan ujung jari, menyeka air mata, baru saat ini menyadari kemiskinan kata-kata, hanya bisa berulang berkata: “Segera akan membaik. Tidur sebentar saja, pasti sembuh.”
Fu Jingshen menyisir rambut pendek yang melekat di pipinya ke belakang telinga, telapak tangan menepuk-nepuk tulang punggung yang basah keringat, lalu mengangkatnya secara horizontal sambil menunduk mencium dahinya: “Aku akan memandikanmu dulu.”
Rumah Chen Jue cukup jauh dari sini, ditambah terjebak jam sibuk malam hari, butuh waktu lama untuk bergegas ke sini.
Menurut perhitungan waktu, dugaannya adalah Ji Ying terkena angin dingin. Orang lain sembuh dari flu demam dalam beberapa hari, Ji Ying berbeda karena pondasinya lemah, setiap sakit pasti menderita berat.
Saat tiba, waktu sudah hampir tengah malam.
Chen Jue menekan bel pintu. Pintu besar terbuka dari dalam. Dengan wajah penuh penyesalan ia berkata: "Jalanan macet, maaf, aku terlambat."
Postur pria yang tinggi menjulang di ambang pintu, mungkin sedang gelisah, bahkan tak sempat basa-basi, langsung memberi isyarat agar ia masuk.
Chen Jue mengganti sepatu lalu bergegas masuk ke kamar tidur.
Gejalanya sesuai dugaan Chen Jue: Ji Ying kedinginan, hawa dingin merasuk tubuh sehingga menyebabkan demam dan pusing.
Chen Jue memasang infus untuk Ji Ying, meracik obat, lalu menjelaskan secara detail hal yang perlu diperhatikan kepada Fu Jingshen.
Sebagai dokter pribadi Ji Ying, ini pertama kalinya Chen Jue bertemu suami legendaris yang sering diceritakan itu.
Dingin dan tak tersentuh, anggun nan tegap, pasti adalah kesan pertama semua orang padanya.
"Kapan penyakit istriku bisa sembuh?" Di ruang tengah, Fu Jingshen meletakkan cangkir teh di depan Chen Jue, menyilangkan tangan, sorot matanya menunjukkan kelelahan yang samar.
Suara pria itu berat dan parau, Chen Jue bahkan bisa menangkap rasa tak berdaya dari nada tersebut.
Seorang pria yang seolah punya semua waktu di dunia untuk segala hal, ternyata juga bisa mengalami ketidakberdayaan seperti ini.
"Seperti biasa, satu minggu hingga setengah bulan." Chen Jue memandangnya dengan ekspresi menyesal, "Yingying memiliki daya tahan lebih lemah dari orang biasa, penderitaannya saat sakit juga lebih berat."
Fu Jingshen menundukkan pandangan, uap panas dari teh berkabut di sekitar mata dan alisnya, menyamarkan raut wajahnya.
Setelah lama, ia bersuara: "Kamar tamu sudah dipersiapkan, terima kasih atas kerja keras Dokter Chen."
"Tuan Fu terlalu baik."
Kondisi Ji Ying masih belum stabil, perlu ganti infus tengah malam, Chen Jue tentu harus menginap di sini untuk pengamatan.
Fu Jingshen mengambil obat yang sudah terendam, kembali ke kamar, melihat postur mungil yang mengurus terbenam di bawah selimut ranjang. Bibir gadis itu pucat, alis halus juga mengerut, wajah kecilnya seputih salju.
Dia mendekat, menoleh melihat botol infus yang tergantung.
Membungkuk dan duduk, memanggil lembut: "Sakura."
Ji Ying tidak benar-benar tertidur, seluruh tubuhnya seperti diisi timah yang berat, menjawab halus: "Ya."
Fu Jingshen membungkuk, merangkul pinggang belakangnya, mengangkat gadis itu dari bawah selimut, membujuk: "Minum obat dulu baru tidur, ya?"
Mendengar harus minum obat, wajah Ji Ying langsung mengerut, menghirup hidungnya, berbisik: "Aku tidak mau."
Fu Jingshen menatap pipinya, menghela napas.
Dia tidak pandai menghibur, mengerahkan seluruh kelembutan dan kesabaran yang dimilikinya.
"Tidak minum obat, penyakit tidak akan sembuh."
Nada berat yang lembut dari pria itu memicu semua keinginan memberontak Ji Ying.
“Aku tidak mau minum, tidak mau!” Suaranya bergetar: “Aku benci minum obat.”
Pahit, sulit ditelan, dibarengi rasa sakit dan kelemahan.
Kepalanya dipalingkan dengan putus asa, garis bibir keringnya terkunci erat: “Aku memang tidak mau minum, apa aku bisa mati karenanya?”
Begitu kata-kata itu meluncur, suara dingin penuh kemarahan terdengar dari atas kepalanya.
“Ji Ying!”
Bulu mata Ji Ying bergetar, hampir seketika lingkaran matanya memerah. Orang yang sakit selalu ingin menyerap toleransi tanpa batas dari orang lain.
Mutiara air mata jernih jatuh, berguling deras ke telapak tangan Fu Jingshen,
“Mengapa aku selalu sakit...”
Fu Jingshen menarik napas pelan, menaruh kembali cangkir obat, memeluknya dalam dekapan sambil menepuk-nepuk tulang punggungnya.
Belum pernah ada momen yang membuatnya mengasihani sampai seperti ini.
Ji Ying menundukkan bulu mata panjangnya. Meski pria itu tidak berkata apa-apa, ia tetap merasakan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
“Kakak ketiga, aku akan minum obat.”
Fu Jingshen menyerahkan cangkir obat padanya, disertai beberapa butir pil: "Telan satu per satu."
Ji Ying justru langsung menyuapkan semuanya ke mulut, mengambil cangkir obat dengan gesit dan menghabiskannya dalam sekejap.
Rasa pahit dan aneh dari ramuan itu tetap membuatnya mengerutkan alis. Ji Ying menerima tisu yang dioperkan Fu Jingshen.
Seolah telah menyelesaikan tugas yang tak disukai, perasaannya membaik. Ia mengangkat alis halus ke arah pria itu, mencoba menghiburnya: "Tak kusangka? Aku jago minum obat."
Fu Jingshen meletakkan cangkir yang telah kosong tanpa sedikitpun terhibur, diam-diam mengeluarkan permen susu dari laci dan menyodokkannya ke bibirnya.
Ji Ying membuka mulut, menggigit permen susu. Rasa manis yang pekat melumerkan kepahitan.
Fu Jingshen tak berhenti memandanginya, hening bagai patung. Baru setelah ia menelan permen, pria itu mengoperkan gelas air.
Obat memiliki efek menenangkan. Tak lama kemudian, Ji Ying mulai merasa ngantuk, rasa sakit yang menjalar di tubuhnya pun sedikit membaik.
Fu Jingshen menatap infus, lalu membungkuk menyelimutkannya dengan selimut sambil berbisik: "Tidur sebentar dulu."
Ji Ying mengangguk lemah. Dalam keadaan chaos, yang terlihat hanyalah bayangan pria yang berjaga di tepi ranjang.
Sepanjang malam, Ji Ying tidur gelisah. Keringat dingin berlapis-lapis membasahi tulang punggungnya. Tubuhnya yang demam berusaha keluar dari selimut, namun selalu ditarik kembali dengan paksa oleh sepasang tangan besar.
"Panas..."
Fu Jingshen bahkan tidak mengizinkannya mengeluarkan tangan dari selimut. "Setelah keringat keluar, akan Baik."
Napas Ji Ying tersumbat, tak ada satu bagian pun di tubuhnya yang tidak merasakan kesia-siaan.
Seperti melampiaskan amarah, ia menggigit sesuatu. Benda yang digigitnya diam sejenak, lalu tidak lagi bergerak.
Saat terbangun keesokan paginya, seluruh tubuhnya terasa tak berdaya bagai ambruk, bahkan mengangkat tangan pun tak sanggup.
Refleks memanggil, "Kakak ketiga…"
Tak lama, langkah kaki terdengar dari dalam ruangan. Fu Jingshen telah menyuruh Sekretaris Chu mengantarkan bahan dan kontrak ke rumah sejak pagi. Selama beberapa hari ini ia bekerja dari rumah. Mendengar suara, ia bergegas mendekati tepi ranjang.
Kecantikan Ji Ying sedikit membaik dibandingkan semalam. Hanya warna bibirnya yang kering dan pucat, sama sekali tak ada warna darah.
Fu Jingshen membungkuk, menyerahkan gelas air padanya.
Semalam Ji Ying bahkan belum sempat gosok gigi. Pahitnya obat bercampur dengan permen di mulutnya, menciptakan cita rasa yang campur aduk.
"Aku mau sikat gigi."
Ji Ying nyaris tak berani membuka mulut. Ia mengangkat bulu mata menatap Fu Jingshen, sedikit terkejut.
Sejak mengenalnya, pria ini selalu tampak semangat dan tenang. Bahkan saat lembur berturut-turut pun matanya tak pernah dipenuhi kelelahan sedalam ini.
Fu Jingshen membungkuk, langsung mengangkatnya secara horizontal dan memeluknya erat menuju kamar mandi.
Ji Ying merasakan kesunyiannya, melihat dia menyiapkan pasta gigi dengan teliti, bahkan sepertinya akan menyikat giginya juga.
Dia sedikit merasa canggung. Sebenarnya dia tidak sampai seperti ini, bahkan kemampuan dasar merawat diri pun seolah hilang.
"Biarkan aku yang melakukannya sendiri." Ji Ying mengulurkan tangan untuk mengambil sikat gigi.
Fu Jingshen melihat pangkal telinganya yang memerah. Di antara kulit pucatnya, ini menjadi satu-satunya semburan warna terang yang memberi kesan hidup pada dirinya.
Hati yang tergantung sepanjang malam perlahan mereda. Dari belakang, dia meraih tangan gadis itu dengan tegas: "Aku yang akan melakukannya."
Ji Ying terpaku, membiarkan pria itu menghidupkan sikat gigi elektrik dan mendekatkannya ke bibirnya.
Dengan malu-malu membuka mulut, jari jenjang pria itu menekan dagunya. Sikat gigi masuk ke rongga mulut, membersihkan setiap sudut dengan cermat.
Karena rahangnya ditahan, busa pasta gigi mengalir ke jari-jari tegasnya. Pipi Ji Ying memanas, berharap waktu berlalu lebih cepat.
Hingga "dipaksa" menyelesaikan mandi, Ji baru digendong kembali ke ranjang oleh pria itu.
"Tante sudah membuat bubur, aku akan mengambilnya untukmu."
Ji Ying merasa dadanya berdenyut-denyut, memegang lengan baju Fu Jingshen dengan ekspresi antara ingin tertawa dan menangis: "Kakak ketiga, aku belum sampai terbaring sakit di ranjang."
Fu Jingshen berhenti selangkah, menoleh padanya. Detik berikutnya, membungkuk mendekatinya tiba-tiba berkata: "Tidak minum obat, apa kau mau mati sakit?"
Dengan meniru nada bicara lesunya semalam.
"Kalau Sakura sudah bilang begitu, aku akan selalu siap merawatmu seperti ini." Fu Jingshen mengulurkan tangan membelai rambut hitam legam yang panjang di tengkuknya.
Ji Ying: "……"
Kalimat itu ternyata diingatnya sampai kini, lalu diam-diam ia balas.
Seolah sengaja menjengkelkannya, Fu Jingshen menambahkan: "Nanti saat tua, kita akan terampil karena terbiasa."
Ji Ying terdiam, memahami maksud tersembunyi perkataannya. Menurutnya, di masa tua nanti dirinya akan lumpuh di ranjang, tak bisa mengurus diri sendiri.
"Siapa bilang," Ji Ying hampir sembuh dari penyakitnya karena emosi, membayangkan kemungkinan itu membuat tulang punggungnya gemetar, "Aku tidak akan seperti itu."
"Benarkah." Fu Jingshen menundukkan pandangan, "Kalau begitu buktikan dengan memulihkan kesehatanmu."
"Jika tidak, gosok gigi, ganti baju, mandi, bahkan perawatan pribadi... semua bisa kutunggangi."
Ji Ying menggigit bibir, pipinya memerah seperti bunga persik, bahkan wajah pucatnya mulai memudar.
Penyakit datang seperti gunung runtuh, perginya seperti benang ditarik. Penyakit Ji Ying kambuhan selama setengah bulan baru benar-benar sembuh.
Yu Wanqing sangat mengasihani. Awalnya Ji Ying tak ingin memberitahu ibunya, namun dari suara telepon saja Yu Wanqing langsung curiga, dan hari itu juga bergegas ke kamar pengantin baru untuk merawatnya.
Fu Jingshen yang semula bekerja dari rumah akhir-akhir ini, setelah kedatangan Yu Wanqing, langsung diusir ke perusahaan. Segala urusan diambil alih sendiri oleh sang ibu.
Ji Ying menghela napas. Penyakitnya sudah membaik, tak perlu diperhatikan seperti bola mata begini.
Di hari pertama penyembuhannya, ibu kota disambut hujan salju perdana. Melalui ambang jendela, serpihan salju berhamburan mengikuti angin.
Ji Ying sudah lama tak keluar rumah. Sejak kecil, hampir tak pernah bebas bermain salju.
Telepon genggamnya bergetar sekali. Ia menunduk memandang.
Kabar itu dari Ji Huai.
Ji Huai kembali masuk kelompok syuting, sesekali masih harus syuting acara varietas. Sedangkan di akhir tahun - tepatnya sekarang - ia punya konser perayaan 5 tahun debut.
Sejak sebelumnya, Ji Huai sudah menelepon berkali-kali, memesankan kursi VIP barisan depan untuknya.
Saat itu Ji Ying masih terbaring sakit.
Tentu ia ingin menonton konser, namun karena belum sembuh total, tak langsung menyetujui.
“Ji Yingying, sudah membaik?” Suara bising dan pemberitahuan penerbangan di ujung sana menunjukkan Ji Huai baru turun dari pesawat.
Ji Ying mengulurkan ujung jari putih halusnya, mencoret lingkaran di jendela menggunakan kabut air, bibir merekah berkata: "Sudah-sudah."
"Baik." Ji Huai mengeluarkan suara 'tsk' pendek, wajahnya cerah, "Aku sudah menyisakan tiket, jangan lupa nonton konser."
Ji Ying menjawab "Ya."
"Ayah mereka datang?"
Ji Huai diam sejenak lama baru berucap: "Aku menyisakan empat tiket."
Maksudnya... Ji Ying paham, tersenyum dalam hati: "Ini untuk kita berdua, kan?"
Ji Huai berpura-pura batuk.
"Kakak masih ada rapat, tutup dulu ya."
Sebelum menutup, dia menekankan lagi seperti takut ia lupa: "Ingat ya, jangan sampai lupa!"
Ji Ying tertawa Hah...: "Setuju."
Hari konser Ji Huai, Waktu sudah memasuki Desember, ibu kota diselimuti salju putih.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia keluar rumah.
Di depan cermin, Fu Jingshen memakaikan topi wol padanya, melihat sejenak lalu seolah merasa kurang, menambahkan syal, sarung tangan, bahkan penutup telinga.
Ji Ying mengedipkan mata, memandangi diri sendiri yang hampir terbungkus bakcang, antara ingin tertawa dan menangis.
Hari ini, Fu Jingshen khusus menyisihkan waktunya untuk mengantarkannya menonton konser.
Ji Ying menggenggam tangannya, melangkah tak stabil di hamparan salju, merasakan bunyi klik salju di telapak kaki, tertawa polos tak terbendung.
"Asyik sekali ya."
Fu Jingshen memandanginya, sesekali menarik syalnya untuk menghalangi angin dingin, sorot mata hitamnya yang dalam memancarkan senyuman samar.
Ji Ying memutar bola mata, tiba-tiba meraih segenggam salju dari ranting semak bunga, membentuknya menjadi bola salju.
Memanfaatkan ketidaksadaran pria, berjinjit, meletakkannya dengan cepat di leher belakangnya, lalu menggeser langkah dengan lincah.
Fu Jingshen menarik napas pendek karena kedinginan, mengambil bola salju yang hampir jatuh dari lehernya, lalu menatap Ji Ying yang sedang menatapnya sambil tersenyum menggoda.
Jika orang lain yang melakukan ini, saat ini pasti sudah menerima balas dendam berlipat-lipat.
Tapi melihat gadis dengan senyum tipis di hamparan salju itu. Sorot matanya yang tanpa rasa takut mengawasinya, seolah menantang berkata "Bisa apa kamu terhadapku."
Fu Jingshen berhenti sejenak, meremas bola salju hingga hancur di telapak tangan.
Saat ini dia memang tidak bisa berbuat apa-apa padanya.
Mengulurkan tangan, menarik Ji Ying yang berada setengah langkah jauhnya ke dalam dekapan, melihat sepasang mata yang tersembunyi di balik syalnya.
"Suka salju," katanya sambil mengangkat dagu gadis itu, sorot mata hitamnya menyipit, mendekatkan bibir ke telinganya, berbisik hanya untuk mereka berdua: "Kalau begitu suka es batu?"
Ji Ying: "……？"
Catatan Penulis:
Akan mengundi dua puluh amplop merah~ Setelah diperhitungkan, kira-kira Houtian cerita utama tamat. Untuk konten Tambahan, para hadirin bisa memberi tahu saya sekarang.
Mengenai mobil, ke mana harus melihatnya saya tinggalkan di kolom komentar.
Rekomendasi cerita teman，《》by ，yang berminat bisa lihat oh
Ahli restorasi barang antik vs wartawan
1. Awal Mula
Lin Qingxu adalah anak emas，anggun dan dingin，tak pernah ada yang berhasil menariknya dari altar dewa.
Su Yi penakut dan malu，bagai kegelapan malam yang memudar dan diam-diam，memandangi bintang berbinar Lin Qingxu tanpa suara.
Diam-diam disukainya dituliskan sekeranjang surat，tak pernah dikirim.
Dalam sebuah permainan Truth or Dare, Lin Qingxu mendekat dan berbisik di telinga Su Yi.
"Kalau tak ingin menyetujui pengakuannya, bagaimana kalau kita mencoba?"
Su Yi mendengar dengan jelas suara detak jantungnya sendiri.
"Baik."
Tapi bermain-main tetaplah sekadar hiburan, sang dewa pun akhirnya kembali ke altar dewa. Su Yi pergi diam-diam, hanya menyisakan keranjang penuh surat dan sebuah jimat perlindungan.
2. Bertemu Kembali.
“Su Yi dengan dingin memperhatikan Lin Qingxu yang pindah ke sebelah rumahnya.”
“Kenapa kamu tidak pergi merestorasi peninggalan budaya malah mencariku?”
Tapi pria yang biasanya tak tersentuh dan tanpa emosi itu, kini berpegangan pada bingkai pintu,
Rambut pendek di pelipisnya meneteskan air, kesejukan tanpa hasrat di matanya telah hilang, digantikan oleh bayangannya. Di sudut matanya terlihat senyuman frustrasi.
“Mungkin aku ini orang yang hanya memikirkan cinta. Aku tak bisa hidup tanpamu.”
3. Berkat wajah manisnya yang viral dari wawancara, Su Yi menjadi populer di internet, tapi popularitasnya seperti pohon besar terpa angin kencang memancing kebencian.”
”Dia ini dulu pernah pacaran dengan ahli restorasi barang antik itu, lalu dicampakkan. Tak disangka sekarang berusaha mendekati lagi.”
“Ah, mengandalkan mantan pacar untuk naik jabatan? Benar-benar pandai memanfaatkan sumber daya. Luar biasa, wajahnya manis tapi hatinya tak tertebak.”
Netizen menghujamnya hingga ke neraka, Su Yi tidak mempedulikan, tapi seseorang tak bisa diam lagi.
Lin Qingxu mengirim tweet dari akun Weibo resminya yang terverifikasi sebagai ahli restorasi peninggalan budaya.
Lin Qingxu V: Tidak pernah putus, sudah menikah. Dialah restoratorku.
Lampirkan foto surat nikah.
Di dunia lain yang tanah gersang, engkaulah satu-satunya cinta dan restoratorku.
