Menjelang tahun baru, pekerjaan Fu Jingshen menumpuk. Pria itu semakin sibuk hingga bayangannya jarang terlihat,
Ji Ying mengisi waktu di rumah dengan menonton semua dokumenter yang selama ini ia kumpulkan.
Ia membaca hamparan gurun Gobi tak berujung di sepanjang jalur barat laut, padang rumput dan danau-danau, teringat pada tradisi lokal dan pemandangan sepanjang jalan yang pernah diceritakan Song Yun. Matanya berbinar-binar penuh iri.
Fu Jingshen pulang kerja dan menemukan gadis itu duduk meringkuk di sofa, tak berkedip menatap layar TV.
Dia mengalihkan pandangannya sebentar ke televisi.
Tiba-tiba bertanya: "Ingin pergi ke barat laut?"
Mendengar suaranya, Ji Ying berbalik memandangnya. Sorot matanya berkilau: "Apa kamu akan menemaniku?"
Selama di rumah, kulitnya putih kemerahan. Penampilannya tanpa riasan terlihat manis dan menggemaskan.
Fu Jingshen diam saja. Ia melepas jas yang masih membawa hawa dingin, bergegas mendekat lalu memeluknya dari belakang. Dagu pria itu menempel di ubun-ubun kepala Ji Ying, dalam pose menguasai sepenuhnya.
Ji Ying merasa pria ini semakin lengket, namun tak menolak personifikasi sandaran tubuhnya. Ia masih ingat pertanyaan tadi: "Apa kamu akan membawaku pergi?"
Fu Jingshen memainkan jemari gadis itu: "Bukannya ingin ke pantai?"
"Oh iya."
Ji Ying termenung, neraca di hatinya mulai miring ke sisi lain.
Tiba-tiba pria itu bersuara: "Aku akan ambil cuti panjang setelah Tahun Baru."
Mendengar ini, Ji Ying langsung menoleh tajam. Antisipasi di matanya hampir meluap.
Fu Jingshen bertanya lembut: "Musim sekarang tidak cocok untuk ke barat laut."
Ji Ying berbalik memeluk lengannya penuh semangat: "Jadi kita pergi ke mana? Pantai ya?"
"Tergantung Nyonya Fu."
Fu Jingshen memencet lembut daun telinganya, tatapan penuh kelembutan.
"Untuk barat laut atau tempat lain, akan banyak kesempatan lagi di kemudian hari."
“Di rumah terlalu lama, Ji Ying benar-benar merasa bosan. Berkali-kali mengirim pesan WeChat ke Wen Yue, tanggal kepulangannya terus diundur hingga akhirnya ditetapkan pada tanggal 27 bulan ke-12 penanggalan lunar.”
“Saat Wen Yue belum kembali, Ji Ying menghitung hari demi hari.”
“Hingga Fu Jingshen mengangkat kepala dari meja baca, mengangkat alis dengan lembut: 'Kalau Nyonya Fu sempat begini, lebih baik temani aku berangkat kerja?'”
“Ji Ying langsung diam membatu. Dia pasti tidak akan kembali ke kantornya lagi!”
“Dia diam-diam menutup wajahnya dengan buku: 'Aku tidak bosan lagi.'”
“Fu Jingshen meletakkan dokumen, menekan lekukan di sudut bibir.”
“‘Jiang Sheng punya teman yang membuka resor pemandian air panas di pinggiran ibu kota, mau pergi?’”
“Ji Ying bergegas bangkit dari kursi, ‘Mau, mau!’”
“Fu Jingshen meliriknya. Mungkin benar-benar sudah lama menahan diri, ditambah sifatnya yang suka bermain, ke mana-mana selalu bersemangat seperti ini.”
“‘Kalau begitu aku akan beri tahu Jiang Sheng.’”
Sabtu pagi-pagi benar, Fu Jingshen yang mengemudi sementara Ji Ying duduk di kursi penumpang, berangkat berdampingan dengannya menuju resor liburan di pinggiran ibu kota.
Akhirnya berhasil mengajak Fu Jingshen keluar, Jiang Sheng menelepon beberapa kali di perjalanan sambil berkata dengan malas-malasan: "Aku menyuruh seseorang khusus untuk menangkap ikan di kolam, menjebak kura-kura di empang, ayam betina juga sudah direbus. Ada bahan makanan alami yang tidak bisa ditemukan di luar, tinggal menunggu Bibi datang menikmati."
Pada dasarnya, resor liburan ini dibuka khusus untuk tempat hiburan orang kaya generasi kedua, tentu lengkap dengan segala jenis makanan dan fasilitas hiburan.
Fu Jingshen membalas datar, "Ya. Kami akan tiba setengah jam lagi."
Resor liburan ini menempati area yang cukup luas, dari luar terlihat seperti kastil dengan akses ke segala arah mudah.
Fu Jingshen mengemudi masuk, dijaga oleh satpam khusus yang mengarahkan parkir, lalu masuk ke gedung utama melalui pintu samping.
Hari ini bos sudah membersihkan area, sehingga luasnya resor liburan hanya diisi oleh orang-orang Jiang Sheng.
Melewati koridor panjang, tiba di depan ruang VIP yang dipesan Jiang Sheng. Fu Jingshen mendorong pintu masuk. Dari celah pintu yang terbuka, Ji Ying melihat ruangan dipenuhi orang. Persis seperti sebelumnya, di samping setiap pria terdapat satu atau dua pendamping wanita.
Tak hanya Jiang Sheng, Xu Zhou dan Yan Hang - teman-teman dekat Fu Jingshen - tapi juga banyak wajah asing yang hanya sekilas dikenali Ji Ying dari pesta pertunangan itu.
Begitu masuk, semua orang menoleh ke arah mereka. Detik berikutnya, terdengar teriakan lantang——
"Kakak Ketiga dan Bibi Tiga, selamat datang!"
Ji Ying tertegun melihat situasi ini, matanya tak sengaja melirik ke Fu Jingshen.
Jangan-jangan dulu dia bergabung dengan kelompok persilatan?
Xu Zhou tersenyum manis, "Bagaimana, Kakak Ketiga? Puas dengan ritual penyambutan ini?"
Fu Jingshen melirik ke arah Jiang Sheng, "Cukup sampai di sini."
"Eh, Zheng Er! Matikan rokokmu! Tidak tahukah Bibi Tiga tidak tahan asap?"
Zheng Er yang baru saja hendak menyulut api langsung meletakkan pemantik api-nya, "Lupa, benar-benar lupa."
Ji Ying memberi salam kepada para hadirin lalu duduk di sebelah Fu Jingshen. Tepat dihadapannya duduk Yan Hang. Setelah beberapa bulan tak bertemu, rambut pria itu lebih pendek dan tampak lebih tenang dan matang.
Begitu bertatap mata, Yan Hang segera menyapanya, "Lama tidak bertemu."
"Benar," Ji Ying tersenyum, "Akhir-akhir ini sibuk apa?"
Yan Hang: "Ditarik Lao Ye kembali ke perusahaan untuk mengurus bisnis."
Sambil mencampur kartu, Xu Zhou menunduk bertanya, "Main kartu?"
Ji Ying: "Main kartu lagi?"
Fu Jingshen melirik mahjong dan poker, "Setiap kali cuma ini, tidak ada aktivitas hiburan lain?"
Yan Hang tertawa: "Kamu sendiri dulu paling semangat main..." Belum ia tahu, Fu Jingshen paling gemar sensasi mengalahkan pemain payah sekaligus mendapatkan stimulasi dari permainan kartu.
"Percakapan belum selesai, diinterupsi oleh Jiang Sheng yang melototi Yan Hang, skenario kedua ini benar-benar menyampaikan hal sensitib."
Fu Jingshen jelas ingin membangun image baik di hadapan Ji Ying, sayangnya dihancurkan oleh kecerobohan Yan Hang.
"Kalau tidak main kartu, masih ada aktivitas lain." Jiang Sheng berkata: "Di belakang ada arena pacuan kuda, Kakak ketiga mau ajak bibi mencoba?"
"Naik kuda?" Mata Ji Ying berbinar, menunjukkan minat besar pada aktivitas ini.
Semasa kecil, ayahnya pernah merencanakan membelikannya seekor kuda poni pendamping tumbuh kembang. Ji Ying waktu itu sangat bersemangat, sayang kemudian dicegah ibu karena risiko bahaya.
Hal ini menjadi hasrat tak tersalurkan Ji Ying yang ditulisnya di kertas catatan.
"Jika ingin, aku akan antarmu kesana." Fu Jingshen berkata.
"Setuju." Xu Zhou berdiri sambil menggerakkan bahu: "Kebetulan aku juga lama tidak menunggang, mari regangkan otot."
Atas seruan ini, separuh orang di ruang VIP langsung menuju ke lapangan pacuan kuda.
Fu Jingshen merangkul pinggang Ji Ying sambil mengerutkan alis.
Menyebalkan.
Setelah berganti pakaian berkuda, rombongan pun tiba di lapangan pacuan kuda.
Di lapangan ini terdapat banyak kuda milik anak-anak bangsawan yang dititipkan di sini. Fu Jingshen yang sibuk dengan pekerjaan sudah lama tidak menunggangi. Kalau diingat, waktu masih sekolah dulu lebih sering ia berkuda.
Xu Zhou menunjuk seekor kuda merah jujuba kecil sambil menganggukkan dagu ke arah Fu Jingshen: "Bibi suka yang ini?"
Sebelum Fu Jingshen sempat bicara, Ji Ying sudah menjawab dengan sumringah: "Suka!"
Xu Zhou sampai merinding melihat penampilannya, dalam hati bergumam: 'Pantas saja Kakak ketiga sulit lolos dari jebakan kecantikan. Bidadari seperti ini mana ada yang tidak linglung melihatnya.'
Fu Jingshen menggandeng kuda merah jujuba kecil itu, mengajak Ji Ying berjalan-jalan santai di sekitar lapangan pacuan kuda.
Hari ini cuaca cerah, suhu mulai menghangat, sinar matahari yang hangat ditaburi tubuh, terasa sangat nyaman.
Gadis itu terlihat lebih ramping dengan pakaian berkuda, kulitnya putih salju, saat tersenyum, alis dan matanya bagai bulan sabut di musim gugur.
Para anak bangsawan yang hadir semuanya membawa pendamping wanita, tapi melihat pemandangan ini, tetap tak bisa menahan rasa iri.
"Dulu-dulu, kapan Kakak ketiga pernah menuntun kuda untuk orang?"
"Tsk tsk tsk, pria yang sudah menikah ini ya, sifat liarnya hilang. Dulu siapa yang bisa menyaingi Kakak ketiga?"
Jiang Sheng langsung membalik badan naik ke punggung kuda, "Sudahlah, jangan iri semua. Naik kuda!"
Kuda-kuda liar melesat dari samping tubuh, Jiang Sheng dengan santai melambaikan tangan ke belakang, "Aku duluan."
Ji Ying memandang debu yang beterbangan di kejauhan, lalu melihat kuda di bawah tubuhnya yang seolah akan menunduk makan rumput setiap detik, diam-diam larut dalam kesunyian.
"Yinghua ingin mencoba?"
Ji Ying mengangguk bersemangat, "Boleh?"
Fu Jingshen menggenggam kuda dan berjalan kembali, “Coba saja baru tahu.”
Kuda poni jinak ditukar dengan kuda hitam besar yang berkilau licin, Ji Ying bahkan tidak berani mendekat.
Saat tubuhnya terangkat ringan, Ji Ying setengah terpeluk ke punggung kuda. Pria itu membalikkan badan dari belakang dan merangkulnya erat dalam dekapan.
Bersamaan itu, paha kokohnya menggemgam erat perut kuda. Kuda hitam itu langsung melesat bagai anak panah.
Ji Ying bahkan tak sempat berteriak di tenggorokan, tangannya meraih erat-erat tali kekang kuda karena tegang.
Dalam gemuruh angin di telinga, dia mendengar Fu Jingshen mengucapkan kalimat yang hanya diucapkan di momen-momen tertentu——
“Sakura, berteriaklah.”
Pangkal telinganya memerah muda karena pikiran kacau yang muncul di saat seperti ini.
Melihatnya tidak bersuara, pria itu kembali menaikkan kecepatan. Kuda hitam melesat deras ke depan. Ji Ying memaksa menyaksikan dirinya semakin mendekati pagar. Sesaat sebelum menabrak, kuda hitam mengangkat kukunya dan melompat tinggi.
Teriakan yang tertahan akhirnya menerobos leher. Di tepi telinga terdengar tawa berat Fu Jingshen disertai kalimat bernada sindiran: "Nyaman?"
Pipi Ji Ying memerah, entah karena rasa malu atau tantangan. Hatinya berdebar plok-plok seolah ingin keluar dari dada.
Menunggu kecepatan perlahan melambat, ia menyikut dada pria itu dengan siku sambil bergumam kesal: "Bagaimana caramu seperti ini ah?"
Fu Jingshen tertawa sampai dadanya bergetar. Detik berikutnya, telapak tangannya meraih rahangnya. Ciuman penuh gairah menyelusup lebih dalam ke bibirnya.
Ji Ying tercium sampai tak bisa bersuara. Hanya merasakan detak jantung semakin cepat, melebihi kecepatan saat melompati pagar tadi.
Kuda masih berjalan ke depan, hanya kecepatannya sedikit melambat. Guncangan di punggung kuda membuat ciuman terasa was-was.
Tak terasa berapa lama, Fu Jingshen mengusap-usap pipi halusnya dengan ujung jari, berbisik sambil tersenyum: "Menyukainya?"
Ji Ying menggigit bibir bawah, mata berkaca-kaca oleh cahaya air karena tertantang.
Setelah ketegangan maksimal dan ciuman yang menggelora, sensasi nikmat bak di awang-awang melingkupi tubuh.
Ia menarik napas panjang, tak ingin mengakui kesukaannya, tapi juga tak bisa berbohong bilang tak suka.
"Sakura." Fu Jingshen memanggil namanya, namun pandangannya menatap pangkal telinga yang memerah: "Di tempat lain kau selalu begini."
"Sudah jelas suka, tapi enggan mengaku."
Tempat lain? Tempat lain apa.
Tiba-tiba tersadar akan sesuatu, pipi Ji Ying tiba-tiba memanas.
Dia benar-benar tak tahu malu!
Ji Ying mengunci bibirnya erat, sama sekali tak bersuara.
"Jiang Sheng, Xu Zhou dan rombongan sudah menunggang kuda melaju jauh. Bahkan Yan Hang yang agak lambat, tertinggal di belakang."
Beberapa orang turun dari kuda, beristirahat sejenak di tempat itu.
"Si Kakak ketiga ini masih berjalan-jalan di sekitar lapangan kuda." Xu Zhou menyalakan rokok, dengan nakal menghembuskan kepulan asap ke arah kuda.
Jiang Sheng sengaja menggoda: "Dia punya istri sedang kamu tidak. Menemani istri jauh lebih menyenangkan daripada balapan kuda."
"Sepertinya mereka datang." Yan Hang menyengajakan telinganya, "Aku mendengar suara derap kuda."
"Benarkah." Jiang Sheng terkejut, menoleh ke belakang.
Mereka serentak berpaling, mengawasi kuda hitam yang semakin mendekat. Xu Zhou malas-malasan tersenyum: "Biar kulihat apa yang sedang dilakukan Kakak ketiga."
Tiba-tiba, ketiganya melihat kuda hitam melompati pagar dengan sepasang pria-wanita di punggungnya.
Sang pria dengan tegas memeluk gadis itu dalam dekapan, telapak tangannya meraih dagu si gadis dari belakang sambil menunduk.
Dari kejauhan, mereka serentak terdiam.
Xu Zhou yang sedang memegang rokok tangannya bergetar, sudut bibirnya berkedut.
“6。”
--------------------
Catatan Penulis:
Pertama menulis rutinitas harian, nanti kira-kira tentang pernikahan, traveling, bayi~ Lalu menulis tentang Kakak tertua dan Yueyue~ Xie Jiang masih dalam pertimbangan
