Uap mengepul di kolam pemandian air panas.
Seolah membuktikan ucapannya, tangan Fu Jingshen yang merangkul pinggang belakangnya semakin membara. Ji Ying gemetar, bulu matanya bergetar ketakutan.
Dia sudah cukup 'itu' tanpa suplemen... apalagi sekarang!
"Apa sakura siang tadi tidur tiga jam?" Fu Jingshen menunduk, bibir tipisnya menyusur sisi wajahnya, jemari dengan lembut menyisir rambut terulurnya ke belakang telinga.
Bel peringatan mendentang keras di telinga Ji Ying.
Apa maksudnya ini?
Apakah karena sudah tidur siang, jadi tidak perlu tidur malam...?
Ji Ying memalingkan wajah, dengan suara teredam: "Lebih dari dua jam."
Khawatir dia benar-benar nekat, ia mendorong lengan pria itu, "Pagi tadi menunggang kuda, kakiku masih sakit..."
"Kaki sakit?" Di bawah air panas, ruas jemari berpisah dari telapak tangan menuju sisi kakinya: "Kausa pijatkan?"
Kini Ji Ying tak hanya sakit kaki, tapi kakinya lemas.
Hampir tak bisa berdiri, nyaris terjatuh ke belakang, dirangkul dalam dekapan lengan kuat Fu Jingshen. Tenaganya tak terlalu keras, gerakan santunnya justru semakin menyiksa.
Suara serak rendahnya: "Kakimu sudah membaik?"
Ji Ying sama sekali tidak baik.
Seperti tersiram bubuk pelumpuh otot, dari tulang punggung sampai kaki terasa geli.
Bulu matanya bergetar halus, tahu Fu Jingshen juga tak nyaman. Apa efek anggur itu sekuat ini? Hanya berpelukan saja sudah...
Wajah Ji Ying memanas, tak mengerti mengapa pria hampir tiga puluh tahun ini masih bisa seperti ini.
Fu Jingshen menggenggam rahangnya, mencium bibir merahnya, kekuatan di tangannya mulai mengendur.
Ji Ying hendak berbicara lagi, tapi terdengar suara berat pria di tepi telinga, "Masih sakit?"
Permukaan air beriak bergelombang, Ji Ying tak bisa melihat ekspresinya, hanya merasa terombang-ambing dalam mata air yang lembut, terendam, sama sekali tak bisa melihat jelas di depan mata.
……
Entah berapa lama, Ji Ying akhirnya digendong kembali ke kamar dalam keadaan pusing. Pipinya yang teduh memerah karena uap panas. Kemerahan di ujung matanya memesona, sorot matanya mulai buyar.
Ia bahkan tak ingin menggerakkan jari sedikitpun. Biasanya langsung terlelap begitu menyentuh bantal, tapi karena tidur siang terlalu lama hari ini, meski seluruh tubuh lemas kelelahan, otaknya tetap terjaga.
"Senang hari ini?" Suara berat pria bergema di telinganya, sambil memain-mainkan jemarinya.
Ji Ying terdiam sejenak, menjawab: "Siang tadi menyenangkan."
“Malam hari?” Fu Jingshen bertanya seolah sengaja memancing: “Tidak menyenangkan?”
Sungguh sangat nakal.
Ji Ying mengerutkan bibir, tak ingin melanjutkan obrolan.
“Tidurlah.” Dia mencium dahinya, “Besok tak perlu bangun pagi.”
Ji Ying menghela napas dalam hati.
“Tak bisa tidur, tadi siang tidur terlalu lama.”
Ia berbalik badan, dengan gerakan bosan mencolek dada pria itu.
“Kapan kita bisa jalan-jalan lagi?”
Fu Jingshen menundukkan pandangan. Hanya lampu malam kecil di meja ranjang yang menyala, cahaya hangat memantul di alis dan mata indah sang gadis, sorot matanya dipenuhi antisipasi.
Persis anak kecil yang merindukan petualangan.
Dadanya berguncang pelan sambil tertawa, memeluk gadis itu dalam dekapan: “Bukankah aku masih punya cuti tahunan?”
“Kalau begitu kita ke Australia yuk?” Ji Ying mengusulkan, “Sudah lama kupikirkan, saat ini udara Australia sangat hangat, sempurna untuk melihat laut.”
Sorot mata hitam Fu Jingshen menatapnya lekat, “Ya.”
Ji Ying telah membuat banyak sekali panduan wisata belakangan ini. Saat semangatnya terpancing, malah membuatnya tidak bisa tidur, mengomel terus-menerus tentang rencana.
Ketika ia selesai menjelaskan panjang lebar tentang cara berjemur di pantai, mengumpulkan kerang, berselancar, dan setelah lama menunggu, tidak ada respons dari Fu Jingshen. Ji Ying mengedipkan mata, mengangkat kepala, melihat kelopak mata pria itu yang sudah terpejam.
Fu Jingshen tidur dengan sangat tenang, hampir tidak bersuara. Saat terlelap, kedinginan di antara alisnya memudar, helaian rambut di dahinya terurai, malah membuatnya terlihat lebih mudah didekati.
Tapi Ji Ying sama sekali tidak memiliki nafsu primitif untuk mengaguminya.
Ia menatap Fu Jingshen dengan mata indahnya yang berkilat-kilat seperti kobaran api kecil.
Hanya memuaskan diri sendiri, bicara beberapa patah kata langsung tertidur.
Di balik selimut, Ji Ying mengulurkan kaki putihnya, menendangnya dengan kekuatan sedang, lalu menarik selimut sambil membalikkan badan membelakangi dia.
Tidak ada yang menemani bicara, Ji Ying juga tidak bisa bersemangat sendirian. Dengan alis dan mata yang lesu, tak lama kemudian ia tertidur.
Keesokan harinya.
Ji Ying bangun secara alami. Saat bangun, ia melirik jam, waktunya masih cukup pagi. Ketidaknyamanan akibat menunggang kuda kemarin masih terasa, ia mengangkat kakinya lalu berbaring kembali.
Tiba-tiba, suara terdengar dari kamar mandi. Fu Jingshen keluar setelah mandi.
Ji Ying mengangkat tatapannya, lalu segera membalikkan badan, hanya memperlihatkan tengkuknya.
"Sakura?" Gerakan Fu Jingshen mengeringkan rambut terhenti sejenak, terlihat sedikit tertegun.
Ji Ying menyelimuti kepalanya dengan selimut.
Fu Jingshen bergegas mendekat, menekuk lutut di atas ranjang, membuka sudut selimut: "Ada apa?"
Ji Ying memperlihatkan satu mata, mendengus pelan dari hidungnya: "Kamu yang harus introspeksi diri."
Udara menjadi hening selama beberapa detik.
Hingga sang pria menyelusupkan tangannya ke dalam selimut meraih betisnya: "Lutut masih sakit?"
Karena pertanyaan ini, pipi Ji Ying memerah separuh. Kemarin malam dia mengeluh kakinya sakit sampai tak bisa membuka, pria itu pun menyuruhnya membalikkan badan. Belakangan dia juga mengeluh lututnya sakit.
"Bukan ini!" suara Ji Ying teredam: "Coba pikir lagi."
Kembali sunyi menyergap. Saat dia menoleh padanya, ekspresi pria itu berhenti sejenak, "Karena aku ketiduran tadi malam?"
Ji Ying mendengus pelan, termasuk menyetujui diam-diam.
Fu Jingshen memandangi Ji Ying yang sedang rewel, hati tertawa kecut, mulut berjanji.
"Lain kali Nyonya Fu bicara, aku tak akan berani lalai sedikitpun. Perkataan Nyonya Fu akan jadi perintah utama yang kupatuhi."
Ji Ying memaksa mengeluarkan "ya" sebagai jawaban, tapi sudut bibirnya tak bisa berhenti melengkung ke atas.
Dia berpikir, dirinya terlalu mudah dihibur.
-
Perjalanan ke Australia dijadwalkan pada hari ketiga Tahun Baru Imlek, setelah merayakan tahun baru di rumah. Namun sebelum itu, Fu Jingshen masih memiliki pekerjaan menumpuk yang harus diselesaikan, sementara Ji Ying di rumah serius menyusun itinerary perjalanan yang mencapai puluhan halaman dokumen persiapan.
Wen Yue juga bergerak cepat, benar-benar mengirimkan beberapa kandidat "pacar" sebagai referensi bagi Ji Ying.
Para kandidat ini tentu saja tampan, bagaimanapun yang bisa lolos seleksi Wen Yue pasti tampan. Menurut deskripsi Wen Yue, sifat mereka semua premium-low profile, lembut beraura gentleman.
Ji Ying membolak-balik foto mereka, perasaan ganjil di hatinya tak kunjung hilang.
Ia mencoba mengirim: [Kakakku juga low profile dan lembut lho]
Wen Yue: [?]
Wen Yue: [Aduh, ngomong gitu nanti disambar petir oh]
Ji Ying: "......"
Entah kalimat mana yang memicu Wen Yue, selama beberapa hari berikutnya Wen Yue tak lagi mengirim kabar tentang "calon pacar" ini.
Menjelang libur tahun baru, Grup Fu mengadakan acara tahunan.
Fu Jingshen hadir sebentar di acara tahunan tersebut, lalu memanggil Sekretaris Chu ke samping dan memberi isyarat agar dia melanjutkan sebagai pembawa acara.
Sekretaris Chu mengangguk setuju. Dalam hati, dia juga memperhitungkan alasan Fu Jingshen meninggalkan acara lebih awal. Urusan penting yang susah payah diselesaikan ini sudah berakhir, tentu harus segera kembali menemani sang istri.
Dengan penuh pengertian, Sekretaris Chu tidak banyak bertanya.
"Malam ini istriku memintaku menemaninya nonton film." Fu Jingshen menunduk, santai melirik jam tangannya. "Sungguh tidak bisa menolak."
Sekretaris Chu："……"
Fu Jingshen mengenakan mantel tebalnya, berbalik badan lalu menekan tombol lift hotel. "Urusan di sini kuserahkan padamu."
Sekretaris Chu："……"
Ji Ying jarang pergi menonton bioskop. Pertama, di rumah sudah ada bioskop pribadi. Kedua, sebelumnya dia memang tidak sering keluar rumah. Maka, pergi menonton film di malam musim dingin menjadi kencan yang unik baginya.
Untuk pergi kali ini, dia sengaja memilih jas wool merah dengan hati-hati, rambutnya disanggul di belakang kepala, riasan mencolok, bibirnya terlihat segar.
"Film apa yang dipesan?"
Di depan bioskop, kerumunan orang terus berlalu-lalang. Ji Ying menyandarkan lengan pada Fu Jingshen, syal menutupi wajahnya sambil memakaikan masker pada Fu Jingshen. Mereka sudah beberapa kali masuk trending topik, meski tidak separah Ji Huai, tapi tetap harus menjaga kerendahan hati.
"Sepertinya film romantis." Ji Ying menundukkan pandangan sambil menggeser layar ponsel, berkata serius: "Judulnya 'Jangan Lupa Aku Mencintaimu'. Film ini sepertinya ditahan beberapa tahun, kakak kedua saya bahkan pernah jadi figuran di situ."
Mendengar judul film itu, Fu Jingshen mengangkat alisnya, tapi akhirnya tidak berkata apa-apa.
Menurut pengalaman investasinya, 80% film lokal semacam ini adalah adaptasi cerita remaja berkualitas rendah oleh penulis kelas tiga, mengandalkan popularitas pemain untuk meraup keuntungan cepat.
Mungkin karena mendekati akhir tahun, atau mungkin Ji Huai memang sangat populer, bioskop dipenuhi penonton tanpa kursi kosong. Kursi yang dipesan Ji Ying adalah kursi khusus pasangan. Saat mereka duduk, terlihat kerumunan orang berjejalan di depan.
Tak lama kemudian, lampu di atas kepala redup, pertanda film akan segera dimulai.
Dalam kegelapan, Ji Ying duduk tegak dengan serius, menatap lekat-lekat ke layar bioskop. Lagu pembuka yang menghangatkan hati mengalun, Ji Ying mendekatkan mulutnya ke telinga Fu Jingshen dan berbisik: "Aku tidak sabar ingin melihat kakak keduaku."
Fu Jingshen menyapu pandangan malas ke layar. Aroma wangi gadis bermata hitam ini terus menerus menyergap indra penciumannya. Dalam gelap, garis alis dan matanya terlihat jernih bersinar, warna merah menyala yang kontras dengan kulitnya membuatnya bagai mawar yang siap mekar.
Saat itu, gambar mulai muncul di layar besar.
Ji Ying menarik-narik lengan bajunya, matanya berbinar-binar membentuk bulan sabit, berkata dengan bangga: "Cepat lihat, itu kakak keduaku!"
Sebagian besar penonton di dalam ruangan adalah penggemar Ji Huai, memecah kerumunan dengan teriakan semangat yang riuh rendah.
Fu Jingshen melirik ke layar.
Sebagai daya tarik promosi, adegan pertama film menampilkan Ji Huai yang bersepeda menuruni bukit dengan seragam sekolah di bawah sinar matahari. Senyuman cerah menghiasi wajah remaja itu, diikuti oleh gadis seusianya yang sedang bercanda dengannya - gambaran yang memancarkan kehangatan.
Pada periode ini Ji Huai masih baru memulai karir, sehingga sumber dayanya terbatas dan hanya mendapat peran pendukung dalam film remaja. Ji Ying tak kuasa berkomentar: "Dia sangat tampan."
Persis satu detik setelah ucapannya, suara sirene nyaring menggemparkan persimpangan jalan di layar. Sebuah truk besar melintas horizontal, menghitamkan layar lebar.
Karakter kecil nomor N yang diperankan Ji Huai meninggal dunia sepuluh detik setelah kemunculannya.
Ji Ying membeku. Seluruh penggemar di ruangan itu membisu.
Hanya Fu Jingshen yang mengangkat tangan menutupi bibir, sembilu tertawa getar keluar dari tenggorokannya.
Ji Ying menaruh kembali lengan bajunya, pipinya memerah, tetap tak mau menyangkal film ini: "Film ini pasti sangat mengharukan."
Dua jam berikutnya.
Setelah mengalami serangkaian putus, kecelakaan, amnesia, dan penyakit mematikan antara pria-wanita utama, akhirnya mereka mencapai akhir yang sempurna be.
Adegan yang hanya tampil selama belasan detik, satu-satunya peran adalah sebagai tunangan masa kecil sang wanita yang meninggal muda, seorang sinar bulan yang membuat sang pria utama cemburu.
Di tengah jalan terus ada yang keluar dari ruangan, semuanya penggemar yang merasa terjebak tipu muslihat.
Ji Ying menahan diri menyelesaikan filmnya, tersenyum canggung ke arah Fu Jingshen: "Lumayan... berliku-liku."
Fu Jingshen menekan sudut bibir yang ingin melengkung ke atas, bola mata hitamnya dengan kesan remeh menatap wajahnya. Jelas dibanding film, ia lebih tertarik padanya.
Film memasuki credit title, sementara para hadirin hampir separuhnya telah pergi. Adapun pasangan yang masih bertahan, sedang melakukan apa - tak perlu dijelaskan.
Ji Ying merasa pengalaman menonton film malam ini sama sekali tidak menyenangkan. Ia teringat julukan untuk Ji Huai di Douban——
Raja Film Buruk.
Singkatnya, semua film dan TV yang dia bintangi pasti buruk kualitasnya.
Meski masih enggan mengakui, namun keyakinannya tidak lagi sekuat dulu. Bahkan dirinya saja merasa tidak enak dipandang, apalagi Fu Jingshen yang pasti merasa sangat bosan...
"Ayo kita pergi." Ji Ying canggung menarik-narik lengan baju Fu Jingshen.
Baru saja berdiri, belum sempat melangkah, pergelangan tangannya ditarik pria itu hingga ia langsung duduk di pangkuannya.
"Kakak Ketiga?" Ji Ying terkejut, buru-buru melihat ke sekeliling.
Memang masih ada yang belum pergi, suara-suara menggoda terdengar dari berbagai penjuru.
Tulang punggung Ji Ying kaku, pangkal telinganya memerah.
Dalam pose ini, Fu Jingshen harus mengangkat pandangan untuk menatapnya. Ia menekan leher belakang gadis itu, sorot matanya tertuju pada bibir merahmu yang menggoda, isyarat dalam pandangannya hampir meluap.
“Tidak boleh.” Ji Ying menekan suaranya, menyiratkan dengan sorot mata: “Ada orang…”
“Mereka tidak sempat mengatur kita.” Fu Jingshen menatap, aura-nya mendekat sangat intim, “Sakura tak ingin mencoba di sini?”
Ji Ying: “……” Lambat-laun muncul tanda tanya di atas kepalanya. Mengapa harus mencoba di sini…
Matanya berjuang sesaat, akhirnya menunduk patuh, berbisik: “Hanya ciuman sebentar.”
“Ya.”
Ji Ying merangkul leher Fu Jingshen, menunduk, tepat sebelum memejamkan mata, tiba-tiba lampu ruang tengah menyala terang.
Personel bioskop membawa tempat sampah masuk, tiba-tiba batuk kecil.
Ji Ying hampir terpeleset dari pangkuan Fu Jingshen.
Dari posisi duduknya yang tinggi, ia menoleh dan bertemu pandangan peringatan sang petugas.
Otak Ji Ying berdengung.
Tak pernah ada momen sepanjang hidupnya yang membuatnya ingin masuk ke dalam gua.
--------------------
Penulis ingin berkata:
Sakura: Cuma wanita kaya biasa yang belum pernah ke bioskop saja
