Saat keluar dari bioskop, hari sudah larut malam. Ji Ying mengangkat tangannya menyelubungi wajah dengan syal, berjalan cepat dengan langkah kecil ke depan tanpa sedikit pun berniat menunggu orang di belakangnya.
Fu Jingshen menyusul dengan langkah mantap, kali ini cukup bijak tidak membuka mulut.
Ji Ying menatap ke depan, menarik napas dalam-dalam, tetap belum bisa lepas dari rasa canggung yang baru saja terjadi.
Sepuluh menit sebelumnya.
Di bawah pandangan penuh arti dari petugas, beberapa pasangan yang duduk di sudut ruangan beranjak dari kursi mereka secara diam-diam dan cepat.
Ji Ying pertama kali mengalami hal seperti ini.
Bahkan syalnya pun tak sempat dipakai, dengan pipi merah padam ia menyelinap di kerumunan dan kabur dengan langkah kecil.
Sumber malapetaka itu—
Mengingat hal itu, Ji Ying memiringkan kepala, sorot matanya yang indah melototi Fu Jingshen dengan geram.
Semua karena dia tak bisa mengendalikan nafsunya di sembarang tempat dan waktu...
Menangkap pandangannya, ekspresi Fu Jingshen berhenti sejenak.
Setelah lama, akhirnya bicara: "Aku juga belum pernah ke bioskop."
Ji Ying terdiam, marah tak tersalurkan, akhirnya menolehkan kepala dan melanjutkan berjalan. Sopir menghentikan mobil di pinggir jalan, ia naik tanpa menoleh sedikitpun.
"Wahahahaha, Ji Yingying kau benar-benar ingin membuatku mati ketawa!" Tawa Wen Yue yang berani terdengar melalui receiver telepon, "Kau masih berbuat sembarangan di bioskop itu, ini bisa masuk berita kriminal tingkat tinggi."
Di ruang luar kamar mandi, Ji Ying sedang membersihkan riasan di depan cermin penghapus makeup. Mendengar itu, ia merasa riasannya hari ini sia-sia.
Ia menarik napas panjang, beberapa saat kemudian baru bisa bicara: "Jangan diungkit lagi."
Wen Yue masih tertawa, "Lagipula kau sengaja menonton film Ji Huai, seputus asa apa kau ini? Filmnya layak ditonton?"
"Apalagi itu film beberapa tahun lalu, jelas-julan film pertempuran paling buruk di antara film buruk."
Ji Ying: "......"
Tak ingin mengingat malam menyebalkan ini lagi, Ji Ying diam-diam mengalihkan topik: "Kalau ada waktu membicarakan ini, kenapa tak sempat pulang?"
“Di sana tiba-tiba sunyi. Wen Yue batuk kecil, berbelit-belit: “Aku kan masih mencari pacar sekarang.”
Ji Ying mengoleskan beberapa tetes minyak pembersih ke wajah, mengangkat alis dengan sinis: “Jadi gimana, hasil pencariannya?”
“Aku sudah ganti batch baru, semuanya anjing herder kecil berhormon meledak.” Wen Yue menjawab malas-malasan: “Nanti setelah kurapikan, baru kukirim ke kamu.”
Gerakan Ji Ying terhenti sejenak, otaknya mencerna perlahan kata "batch" dan "rapikan". Jadi berapa banyak sebenarnya "beberapa" kandidat pantas yang dimaksud Wen Yue...?
Lalu apakah kakakku masih masuk nomor antrian? Ji Ying mengerutkan alis anggunnya, mulai khawatirkan nasib Ji Chen.
Sampai Wen Yue kembali bergumam kesal: “Tahun Baru Imlek ini, Wen Yan dan Lan Xin menikah, aku semakin tak mau pulang. Pulang untuk meninggikan muka dia?”
Ji Ying terkejut: “Dia akan menikah?”
“Benar.” Wen Yue berkata sinis: “Wen Yan memang mengandalkan pernikahan aliansi untuk memperkuat posisi terhormat, agar bisa segera mengusir aku dan ibuku dari rumah?”
Ji Ying menatap cermin dengan ekspresi tenggelam dalam pikiran, tiba-tiba berkata: “Kalau begitu kau juga menikah aliansi, usir dia keluar dari rumah.”
Wen Yue berbisik sinis: “Pernikahan aliansi? Mana ada keluarga yang mau menikahiku tanpa pertimbangan matang?”
“Rumahku.” Ji Ying menggerakkan bulu matanya dengan ketenangan, bibir merekah: “Kakakku yang pertama atau kedua, silakan pilih.”
Wen Yue sepertinya sedang meneguk air, hampir tersedak mendengarnya, lama kemudian menjawab: “Jangan, jangan bercanda seperti ini.”
Mungkin percakapan mulai tidak nyaman, setelah beberapa kalimat singkat, Wen Yue mencari alasan kabur pontang-panting.
Telepon baru saja ditutup, ketukan pintu terdengar dari luar. Suara berat Fu Jingshen yang jernih dan tenang menggema: “Belum selesai mandi?”
Ji Ying menaruh kembali telepon genggam, “Sebentar lagi.”
Fu Jingshen membalas “Ya”, langkah kaki menjauh seolah-olah telah pergi.
Ji Ying dengan santai membersikan riasan wajah, mandi, dan melakukan perawatan kulit. Saat keluar dari kamar mandi, waktu telah menunjukkan tengah malam.
Dia menuju kamar tidur. Lampu malam di meja ranjang masih menyala. Fu Jingshen bersandar di tepi ranjang, tangan menggenggam buku yang sering dia baca di tempat itu.
Ji Ying berjalan ke sisi ranjang dan menyalakan dupa.
Fu Jingshen meletakkan buku. Tatapannya tertuju pada leher belakangnya yang putih bersinar saat wanita itu menunduk. "Kau berada di kamar mandi selama satu jam tiga puluh delapan menit," ingatnya.
Ji Ying perlahan menyalakan dupa, mengangkat bulu mata meliriknya sebentar.
“Aku harus membersihkan riasan, skincare.”
Riasan yang didesain dengan hati-hati malam ini berakhir dengan cara yang canggung. Sebagai dalang utamanya, bukankah dia seharusnya lebih melakukan introspeksi?
Dia diam seribu bahasa membuka selimut dan naik ke ranjang.
Fu Jingshen tahu kulit wajahnya tipis, sifat keras kepalanya tak akan hilang sementara, lalu mematikan lampu di meja ranjang.
Dia mendekat ke tepi telinganya, berbisik lembut menghibur: “ kali aku pasti akan lebih hati-hati.”
Ji Ying yang awalnya sedang mencoba memunculkan rasa kantuk, kini ingatan malam itu dengan mudah dibangkitkan olehnya. Momen memalukan dan canggung itu kembali membanjiri pikirannya. Ia mengeratkan jari-jari kakinya, sekarang benar-benar tidak bisa tidur.
"Masih ada kali?" Ji Ying mengerutkan alis bergumam: "Aku tidak akan pergi ke bioskop lagi bersamamu."
Fu Jingshen: "……"
-
Grup Fu.
"Jadi apakah Bapak akan menghadiri balai lelang amal malam ini secara pribadi?" Sekretaris Chu memastikan dengan Fu Jingshen.
Untuk balai lelang pribadi sebelumnya, Fu Jingshen selalu menugaskan stylist khusus untuk mewakili nyonya rumah memborong perhiasan gemerlap. Barang-barang bernilai puluhan juta ini sebagian besar hanya teronggok sunyi di ruang ganti nyonya, bahkan tidak sempat memakainya semua.
Fu Jingshen yang banyak tingkah dan sibuk, mana ada waktu untuk hadir langsung di lelang.
Mendapat konfirmasi dari Fu Jingshen, Sekretaris Chu mengangguk: "Saya akan menghubungi panitia untuk Bapak."
Belum sempat dia meninggalkan kantor barat, Fu Jingshen memanggilnya: "Nyonya juga akan ikut."
Sekretaris Chu terkejut, berpikir sejenak, sebelum Fu Jingshen menjelaskan dengan tenang bagai angin sepoi-sepoi: "Untuk menghibur istriku."
Sekretaris Chu: "……"
Saya juga tidak bertanya pada Anda.
Dia menyesap bibirnya, "...saya akan memberi tahu panitia untuk menambah dua posisi lagi."
Saat kabar tentang lelang amal itu sampai, Ji Ying sedang nonton bioskop di rumah.
"Lelang amal?" Ji Ying terkejut, mulai tertarik.
Lelang privat biasanya tak perlu kehadiran langsung, hanya lelang amal yang dipromosikan secara mencolok. Tapi Fu Jingshen yang rendah hati ini, kapan pernah menghadiri langsung?
"Mau ikut?"
Mengingat perilaku nakal Fu Jingshen semalam, amarah Ji Ying masih belum reda.
Kalau dia mengundangku, kenapa tidak aku habiskan uangnya habis-habisan?
Lagipula ini untuk amal.
Ji Ying mengangguk, langsung bangkit: "Ayo pergi."
Senja, mobil berhenti di bawah gedung. Ji Ying berganti pakaian qipao hijau muda, mengenakan jas wool, melangkah anggun masuk ke mobil.
Memasuki musim dingin, Fu Jingshen sudah lama tidak melihatnya memakai qipao. Ia mengangkat pandangan melihatnya, melepas mantel lalu menyampirkannya di paha perempuan itu, meraih betisnya dan meletakkannya di atas lututnya untuk dihangatkan.
“Tidak takut sakit?”
“Tapi bukankah ke jamuan malam harus pakai gaun resmi?” Ji Ying meliriknya, “Atau maksudmu pakai celana kapas?”
Fu Jingshen menggenggam betisnya yang dingin, telapak tangan hangatnya menghangatkan kulit sehalus giok, “Sekali pun kau pakai celana kapas, siapa yang berani komentar.”
Ji Ying merasa pria ini sudah keterlaluan sampai tidak mau lagi berpura-pura.
Ia juga tidak menarik kakinya, justru menikmati kehangatan dari tangan pria itu.
Mereka makan dulu di restoran hotel. Seperempat jam sebelum lelang dimulai, baru memasuki balai lelang.
Tahun baru Imlek selalu dipenuhi acara sosial seperti ini, Ji Ying melihat banyak wajah yang terasa familiar.
Para hadirin yang melihat Fu Jingshen menunjukkan raut wajah terkejut, kemudian tatapan mereka yang tak menyembunyikan kekaguman tertuju pada Ji Ying di sampingnya.
Sebelumnya putri bungsu Keluarga Ji jarang muncul di publik, namun setelah menikah justru tinggi hati mengikuti acara varietas. Namun kebanyakan kolektor belum pernah melihat sosok aslinya.
Kini tiba-tiba menyaksikan, ternyata lebih memesona dari penampilan di layar maupun foto. Saat mereka berjalan mendekat di bawah sorotan lampu, bagaikan sepasang giok yang serasi.
Panitia khusus menyiapkan posisi dengan view terbaik untuk Fu Jingshen. Setelah basa-basi singkat dengan kenalan, Ji Ying mengikuti Fu Jingshen ke tempat duduk.
Ia tak akrab dengan paman-paman ini, namun mereka semua mengenalinya. Sikap perhatian khusus ini tentu karena pengaruh ayah, kakak, dan Fu Jingshen.
Pandangannya menyapu ruangan, tiba-tiba terhenti di pintu masuk. Ji Ying melihat Wen Yan dan Lan Xin.
Keduanya masuk sambil berpelukan tangan, dengan semangat menyapa orang-orang di sekeliling. Wen Yan yang selalu bergaya mencolok, pasti takkan melewatkan acara amal megah seperti ini.
"Mereka akan menikah setelah Tahun Baru." Ji Ying mendekatkan bibirnya ke telinga Fu Jingshen, berbisik pelan.
Fu Jingshen tentu sudah tahu, sejak setengah bulan lalu undangan pernikahan dari Keluarga Wen sudah sampai di tangannya.
"Wen Yue yang bilang?"
Ji Ying mengangguk, sesekali melirik ke arah Wen Yan, berkata dengan nada kesal: "Karena hal ini, Yueyue bahkan tak mau pulang."
Fu Jingshen menundukkan pandangan sambil memainkan jari-jari putihnya yang halus, berkata santai: "Kurasa bukan cuma ini penyebabnya."
Dia memang selalu bisa melihat lebih jelas dari siapapun. Ji Ying menarik kembali tangannya, menyandarkan dagu dengan wajah muram memandang ke kejauhan.
Banyak artis yang tampil di balai lelang, otomatis menarik perhatian media. Di bawah sorotan lampu kilat, Wen Yan merangkul pinggang Lan Xin dengan gagah, dengan antusias menerima wawancara media, menciptakan momentum paling spektakuler.
Ji Ying menundukkan bulu mata panjangnya, mengalihkan arah pandangan.
Tak lama kemudian, lelang dimulai.
Koleksi awal hanya disertai suara penawaran yang sporadis. Ji Ying tak menunjukkan minat. Fu Jingshen tahu dia meremehkan barang-barang ini, juga tak berkata apa-apa, hanya santai mengusap-usap ruang antara jempol dan telunjuknya.
Baru ketika proses lelang mencapai separuh, mulai muncul koleksi dengan nilai lebih tinggi.
Ji Ying membeli beberapa item secara spontan.
Saat lelang mendekati akhir, di bawah cahaya terang channel pajangan, muncul mahkota bertabur berlian merah muda. Juru lelang menjelaskan ini adalah mahar yang disiapkan keluarga kerajaan Y tahun 1854 untuk putri kesayangan.
Begitu kata-kata ini terucap, kerumunan bisik-bisik mulai bergema di ruangan, banyak yang bergelora ingin membeli.
Ji Ying duduk lebih tegak, sorot matanya tertuju pada mahkota berlian merah muda. Fu Jingshen meraih jarinya, berbisik: "Suka?"
"Ya." Jawab Ji Ying: "Aku mau."
Setelah penjelasan juru lelang, harga awal ditetapkan 100 juta yuan.
Detik berikutnya, seseorang langsung mengangkat plakat penawaran. Wen Yan dengan percaya diri menawarkan harga 120 juta, tersenyum berkata: "Hadiah pernikahan untuk tunangan saya."
Mahkota ini, jika dikenakan di hari pernikahan sebagai aksesori gaun pengantin, terlihat sangat mewah dan berkelas.
Kebanyakan orang hanya tersenyum kecut mendengarnya, tak ada yang berani ikut menawar mahkota yang rawan dianggap 'pihak ketiga' ini. Bagaimanapun, tak pantas ikut campur dalam urusan hadiah pernikahan orang.
Saat semua yakin koleksi ini pasti jadi milik Wen Yan, suara perempuan lembut nan tegas terdengar dari barisan depan: "200 juta."
Ruangan hening sejenak. Banyak yang menoleh ke arah sumber suara, melihat Ji Ying yang masih memegang plakat tawaran. Ekspresi mereka membeku sebelum beralih ke Fu Jingshen di sampingnya. Pria itu tetap santai, tak ada niat menghentikan.
Wen Yan mengeratkan rahangnya melihat tawaran yang sudah dianggapnya pasti kini direbut. Dengan geram, ia kembali mengangkat plakat: "210 juta."
Ji Ying: "300 juta."
Gemparlah ruangan itu. Di atas panggung, sudut bibir juru lelang mulai melengkung.
Di sisi lain, Lan Xin menarik ujung jubah Wen Yan, wajahnya juga tidak terlihat baik. Wen Yan sudah mengatakan ini akan menjadi hadiah pernikahannya, tapi Ji Ying malah ikut campur, sama sekali tidak menganggap mereka.
Wen Yan berkata dingin: "Tiga koma lima miliar."
Ji Ying mengerutkan bibir, baru saja hendak mengangkat papan nomor dan menaikkan harga, plakat di tangannya direbut Fu Jingshen. Sebelum sempat bereaksi, suara dingin dan santai Fu Jingshen yang khas terdengar: "Lima miliar."
Suasana di dalam ruangan semakin riuh, banyak yang berbisik-bisik. Wen Yan yang sejak masuk terus-terusan mencolok kini tampak malu, tangan yang memegang plakat menggenggam erat lalu melepaskan.
Dia benar-benar tidak paham, mengapa Ji Ying ini sengaja melawannya!
Wen Yan tidak lagi menaikkan tawaran. Harga koleksi ini sudah mencapai batas maksimal, menambah lagi sudah jauh melebihi anggarannya.
Pelelang di atas panggung tidak bisa menyembunyikan getar antusiasme dalam nadanya, cepat-cepat memukulkan palu lelang di tangannya.
“Lima ratus juta tael pertama, lima ratus juta tael kedua, lima ratus juta tael ketiga! Selamat untuk Direktur Fu dan Nyonya Fu!”
Ji Ying tak bisa menahan diri untuk tidak melirik Fu Jingshen. Dengan menaikkan tawaran sebanyak ini, apa dia tidak rugi...
Para hadirin duduk berdekatan. Wen Yan yang duduk di samping menoleh dengan senyum sinis: "Apa gunanya Tuan Fu menghamburkan ribuan tael untuk koleksi ini?"
Fu Jingshen mengangkat kelopak matanya sejenak, lalu meraih tangan Ji Ying hingga jari-jari mereka terkait erat.
Di tengah telinga-telinga penasaran yang mengarah padanya, dia menjawab dengan nada datar:
"Hadiah bulan madu untuk istriku."
--------------------
Catatan Penulis:
Kakak ketiga: Cuma brengsek kecil penghibur istri yang biasa saja
