Ji Ying tidur dengan sangat nyenyak.
Saat membuka matanya kembali, cahaya fajar telah terang di luar jendela. Dengan kaki telanjang menginjak karpet beludru, ia menarik tirai jendela. Sinar matahari tipis meresap ke dalam pupil matanya.
Sudah lama tak ada cuaca cerah, padahal pagi tadi masih turun salju.
Ji Ying menyipitkan mata perlahan, belum sepenuhnya terbiasa.
Pintu diketuk, suara tante terdengar: "Nyonya, apakah sudah bangun?"
Ji Ying membalas, "Ya."
Tante membuka pintu dan masuk.
"Jarang melihat Nyonya tidur sedalem ini, jadi tidak tega membangunkan." Kata tante: "Sarapan sudah siap, silakan makan."
Ji Ying mengangguk: "Tunggu sebentar, saya mandi dulu."
Tante memperhatikan Ji Ying yang berdiri di ambang pintu. Sinar matahari dari jendela menyinari mahkotanya. Gadis itu hanya mengenakan gaun putih tipis di dalam ruangan, meski kandungannya sudah empat lima bulan, perutnya tidak terlihat hamil. Di wajahnya masih terpancar aura gadis yang tak pudar.
“Tuan pergi jam berapa pagi ini?” Ji Ying berjalan menuju meja makan setelah selesai mandi, bertanya dengan nada heran.
Biasanya, sebelum Fu Jingshen pergi, dia pasti akan menyadarinya, sang pria juga akan menyapanya.
Beberapa tante terkejut. Sejujurnya, mereka juga tidak tahu. Sejak pagi buta, Tuan sudah tidak ada di rumah, mereka mengira mungkin ada hal mendesak di perusahaan.
"Tuan berangkat sangat pagi hari ini." Tante itu menggelengkan kepala: "Kami juga tidak paham."
Ji Ying menunduk, mengangguk sambil tenggelam dalam pikiran.
Tidurnya nyenyak semalam membuat kecantikannya hari ini bersinar, bahkan nafsu makannya meningkat.
Ahli gizi terkagum melihatnya menghabiskan satu mangkuk kecil bubur Sarang Walet lebih banyak dari biasanya, bahkan ditambah beberapa keping kue teh.
Setelah makan, Ji Ying kembali ke ruang baca untuk mempelajari literatur. Meski sedang hamil, tugas dari pembimbing akademik dan kelompok penelitian tidak boleh diabaikan. Sebelumnya selalu merasa lemas, baru hari ini semangatnya pulih sedikit.
Ruangan sunyi sepi, tiba-tiba ponsel di sebelahnya bergetar pelan. Satu detik kemudian, bergetar lagi beberapa kali berturut-turut.
Ji Ying mengangkat bulu matanya, membaca kabar dari Wen Yue yang mengirimkan tautan Weibo sambil bertanya:
[Apakah ini fjs?]
[Apa yang dilakukannya di kuil saat salju turun lebat?]
[Apakah untuk mendoakanmu?]
Ji Ying tetap duduk, menatap ponsel di tangannya. Bulu mata panjangnya terkulai lemah sambil memandangi gambar di layar.
Pemilik Weibo adalah seorang perempuan biasa yang biasanya hanya mencatat aktivitas harian. Belakangan, ayahnya sakit parah. Pagi ini ia berangkat dini hari ke Kuil Puji untuk berdoa, tak sengaja bertemu Fu Jingshen yang datang lebih awal.
Cahaya dalam foto masih remang-remang. Di tengah guyuran salju, pria bertolak pinggang dengan payung dan pakaian hitam berdiri di depan kuil.
Tiang merah kuil menutupi sebagian posturnya, hanya menyisakan setengah profil tampannya yang tersembunyi.
Es dan salju menyatu dengan aura kesejukan yang tak tersentuh dari pria tersebut, butiran salju jatuh dari tepi payung ke bahunya, semakin memperkuat kesan dewa yang tak terjangkau.
Gadis itu menulis di blog: [Sepertinya aku tidak sengaja bertemu fjs, ternyata orang sehebat itu pun punya keinginan yang sama sekali tidak tercapai sehingga perlu memohon pada Buddha?]
Weibo ini langsung mendapat banyak views dan retweet, didukung oleh beberapa akun buzzer. Bagaimanapun, popularitas Fu Jingshen bahkan melebihi artis trending, hanya saja selama ini terlalu rendah hati sehingga mereka kesulitan mencari kabar.
Subuh.
Weibo ini langsung trending di.
Kolom komentar Weibo langsung heboh,
[U1S1, lebih tampan dari foto jalanan banyak artis, membuat hatiku berdebar!]
[Jadi apa keinginan fjs sampai harus pergi sendiri sepagi ini?]
[Cuma melihat fotonya saja sudah terasa dingin...]
[Apa ada anggota keluarga yang sakit? Jangan-jangan Kakak Sakura!]
[Mundur! Mundur! Mundur! Kakak jangan sampai sakit!]
……
Di bagian belakang adalah komentar panas netizen, semuanya mempertanyakan mengapa Fu Jingshen mendaki kuil sendirian.
Ji Ying menyapu komentar Weibo, ujung jari yang meraih ponsel memutih karena tekanan.
Ia menundukkan pandangan, rasa iri yang tak terucap memenuhi tenggorokannya.
Fu Jingshen pulang makan malam hari ini. Sejak Ji Ying hamil, ia berusaha menolak acara sosial dan pulang lebih awal.
Tanpa pengawasannya, Ji Ying selalu punya alasan untuk main-main dengan makanan.
Musim dingin membuat langit cepat gelap, saat mobil berhenti di luar vila, cahaya lentera hangat terlihat dari dalam.
Sorot mata Fu Jingshen melembut.
Di luar kamar, rintik salju mulai turun lagi. Ia mengabaikannya dan masuk lewat pintu dengan langkah besar.
Ji Ying sedang duduk di tepi meja, menunggu waktu makan.
Malam itu ahli gizi menyiapkan sup ayam, aroma terbaiknya memenuhi seluruh ruangan.
Mendengar suara, dia menoleh mengikuti arah sumbernya. Tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan berlari ke arah sini dengan langkah kecil.
Lengan ramping nan putih itu merangkul pinggang ramping nan kokohnya, tubuh mungilnya dengan anggun mendarat dalam dekapan pria itu.
Sejak hamil, jarang sekali dia terlihat seenerjik ini.
Fu Jingshen mundur selangkah, mengingatkan dengan lembut: "Ada hawa dingin di tubuhku."
Dia menggendong Ji Ying menjauh. Setelah melepas mantel tebalnya yang dibuang ke sofa, detik berikutnya merentangkan lengan panjang untuk memeluk Ji Ying dalam dekapannya.
Ji Ying menundukkan pandangan, mencium bau familiar dari tubuhnya sambil menghirup pelan melalui hidung.
Fu Jingshen: "Bagaimana kabarmu hari ini?" Telapak tangannya menempel di perutnya: "Apakah ada yang mengganggumu?"
Ji Ying perlahan menggelengkan kepala: "Tidak, aku baik-baik saja."
"Bagus kalau begitu." Fu Jingshen berkata dengan suara rendah, "Sudah makan?"
"Belum." Kata Ji Ying: "Aku menunggumu pulang."
Fu Jingshen tertawa rendah sambil mengusap tengkuknya, mengangkat dagunya, memperhatikan ekspresi wajahnya dengan seksama. Kecantikannya memang sedikit membaik dibanding beberapa hari lalu.
Saat makan malam, Ji Ying menghabiskan satu mangkuk kecil lebih banyak dari biasanya.
Menatap Fu Jingshen yang terdiam di seberang, tiba-tiba ia mengangkat pandangan, sorot mata indahnya berbinar ke arahnya: "Aku akan makan dengan baik, tidur dengan baik."
"Bayi juga akan begitu."
"Kita semua akan baik-baik saja, jadi Kakak ketiga, bisakah kau tenang sekarang?"
Uap panas dari sup mengaburkan alis dan matanya, membuatnya samar-samar terlihat, namun penuh kelembutan.
Jakun Fu Jingshen bergerak, suaranya rendah dan serak saat berbicara: "Maaf."
"Aku juga merasa beruntung." Katanya.
Ji Ying membuka bibirnya sedikit: "Ya?"
Fu Jingshen: "Beruntung masih bisa merawatmu."
"Andai tahu akan seperti ini." Ia berhenti sebentar: "Aku lebih memilih tidak punya anak."
Ji Ying terkejut, langsung memeluk perutnya, meliriknya, "Cepat tarik kembali ucapannya, jangan diulangi lagi."
“Bagaimana jika bayi mendengarnya?”
Meski hamil karena kecelakaan kecil, Ji Ying tidak mengurangi sedikit pun rasa cintanya pada bayi. Perkataan seperti itu tak bisa ditoleririnya.
Fu Jingshen masih memandanginya, bola mata hitamnya menyimpan emosi yang tak bisa dipahaminya.
Tiba-tiba dia mengulurkan tangan, telapak tangan besar meraih pergelangan tangannya.
Detik berikutnya.
Di tangan Ji Ying muncul satu tusuk Sarira yang diuntai dengan tali merah.
Fu Jingshen berkata dengan raut wajah sangat serius: "Untuk perlindungan dan kedamaianmu."
Dia tak tahu.
Segala kemewahan di dunia tak ada artinya dibanding secuil dirinya.
Harta, reputasi gemilang, semua hanyalah asap yang berlalu. Anak pun akan pergi saat dewasa.
Hanya dialah cinta sejati sepanjang hidupnya.
-
Musim semi tiba, salju mulai mencair.
Perut Ji Ying perlahan membesar memasuki trimester akhir. Musim dingin yang paling berat telah berakhir, kondisi fisiknya membaik dan kecantikannya mulai pulih.
Suasana hati yang berubah-ubah selama kehamilan membuat tubuh yang mulai nyaman tak terhindarkan dari emosi yang mencekik. Emosi Ji Ying selalu berfluktuasi tak menentu, bahkan orang yang biasanya paling lembut pun sesekali melampiaskan sifat kecil.
Wen Yue, sang Putri Mahkota yang juga berada di trimester akhir kehamilan, sifatnya lebih luar biasa.
WeChat Ji Chen sering kali diblock olehnya.
Hari ini, Ji Ying kembali menjadi perantara dengan mengirim pesan ke Wen Yue: [Yueyue, kakakku memintaku menyampaikan bahwa siang nanti dia akan menjemputmu untuk pemeriksaan kehamilan.]
Wen Yue membalas dengan satu karakter penuh kesan mahal dan dingin: [Oh]
Ji Ying antara ingin tertawa dan menangis: [Apa kalian bertengkar lagi?]
Membicarakan hal ini, Wen Yue langsung bersemangat menelepon dan mengeluhkan Ji Chen secara menyeluruh tanpa celah kepada Ji Ying.
Padahal penyebab seluruh kejadian ini hanyalah sepiring lobster. Tadi malam, Wen Yue diam-diam memesan lobster takeaway yang ketahuan oleh Ji Chen yang pulang lebih awal tiba-tiba.
Di hadapannya, Ji Chen dengan wajah dingin menuangkan seluruh lobster ke dalam tempat sampah.
Ji Chen yang biasanya baik hati malam itu nekat tidak mengucapkan sepatah kata pun, sementara Putri Wen yang dikenal temperamental tanpa ampun memblokir WeChat-nya.
"Dia membuang 24 ekor lobsterku." Wen Yue mendengus dingin: "Biarkan dia menunggu 24 hari."
Ji Ying menutupi bibirnya, tak tahan menahan tawa, sambil menghibur Wen Yue dengan kata-kata seperti "Mundur selangkah langit dan laut terbentang luas", "Tahan sebintang badai akan reda", "Setelah hamil makan 240 porsi pun Ji Chen tak bisa mengatur", baru berhasil menenangkan sifat Wen Yue.
Tak disadarinya, dirinya pun bisa marah karena hal-hal kecil.
Penelitian kelompok studi akhir-akhir ini tidak mulus, bahasa Sanskerta yang membosankan dan kikuk, energi Ji Ying terkuras, berhari-hari tak bisa menyelesaikan separuh kecil dari target. Dengan cemas, saat Fu Jingshen menyuruhnya tidur malam itu, ia nekat menolak.
Berkata dengan suara teredam: "Kalau belum selesai membaca, aku tak akan tidur."
Fu Jingshen tidak akan memanjakan dia, "Aku yang menggendong atau kamu jalan sendiri?"
Ji Ying terbata-bata beberapa saat, tiba-tiba berkata: "Kamu galak padaku."
Fu Jingshen memperlambat tempo bicaranya: "Aku hanya mengajakmu tidur."
"Kamu tak ingin aku membaca." Ji Ying berkata: "Kamu ingin menghalangi belajarku."
Fu Jingshen tak lagi berdebat, membungkuk lalu mengangkatnya dari kursi singgasananya, "Tidur!"
Ji Ying yang tak bisa melampiaskan kekesalan akhirnya menjadikan Fu Jingshen - batu sandungan utama di jalan belajarnya - sebagai sasaran amuk, dikocok cukup lama baru akhirnya tertidur.
Selama masa kehamilan, meski tak begitu mulus namun berlalu tanpa hambatan berarti.
Akhir Mei, tiba hari perkiraan lahir.
Karena Ji Ying dan Wen Yue memiliki tanggal yang sama, secara alami masa perkiraan lahir mereka pun sekitaran. Mereka memilih menginap di kamar VIP yang sama, setidaknya ada teman mengobrol.
Setiap hari mereka riang bercengkrama, tak menyadari betapa tak akurnya aura kedua pasangan di luar sana.
Sejak kecil, hubungan mereka selalu dibanding-bandingkan. Kebetulan kini berkumpul bersama, suasana di antara mereka pun perlahan menjadi subtil.
Dua pria dengan postur dan aura yang nyaris setara, sering terlihat mengenakan setelan jas rapi di dalam kamar yang sama, namun hampir tak pernah mengobrol.
Saat berbicara, justru terkesan seperti sedang bersaing secara halus di belakang layar.
Yu Wanqing justru datang setiap hari, memandangi Ji Ying dan Wen Yue sambil bercanda: "Entah bayi mana yang akan lahir duluan ya."
Kalimat ini secara tak langsung memengaruhi suasana di dalam kamar.
Fu Jingshen membuka bulu matanya: "Dokter bilang, ini akan terjadi dalam beberapa hari ini. Seharusnya sekitar akhir Mei."
Ji Chen meliriknya dengan ekspresi datar: "Dokter hanya menyebutkan perkiraan."
Fu Jingshen tersenyum: "Tapi tetap dokter yang mengatakannya."
Para hadirin di dalam kamar: "..."
Namun yang tak terduga, semua peristiwa datang secara tak terduga.
Malam itu.
Wen Yue diam-diam memakan sebungkus ikan kering yang disembunyikannya, lalu berbalik-balik di tempat tidur tak bisa tidur. Setelah memanggil dokter, ia segera dibawa ke ruang operasi.
Seolah ingin ikut meramaikan, perut Ji Ying mulai terasa sakit berulang kali.
Tiba-tiba saja, keduanya sama-sama harus melahirkan.
Yu Wanqing yang baru saja pulang dan hampir tertidur, langsung menarik tangan Ji Tianze untuk kembali terburu-buru ke rumah sakit.
"Bagaimana kabarnya? Bagaimana?" tanya Yu Wanqing pada dua pria dewasa yang berdiri kaku di tempat, "Sudah berapa lama masuk?"
Yang biasanya saling bersaikan dan pandai beretorika, kini seolah menjadi bisu.
Ji Chen memandang jam tangannya dengan tatapan kosong, sementara Fu Jingshen terus mengawasi pintu, bagai terasing dari situasi.
"Aduh!" Yu Wanqing hampir tak sabar melihat kedua pria ini. Ia berbalik badan, lalu melihat Ji Tianze yang sedang bersandar di dinding sambil menyalakan rokok diam-diam.
Tak ada satu pun pria yang bisa diandalkan!
Satu per satu detik berlalu, dari tengah malam hingga larut malam.
Fu Jingshen mengerutkan bibir, tangan di sisinya menggenggam erat lalu mengendur dan menggenggam lagi, mengeluarkan keringat dingin di seluruh telapak.
Sementara Ji Chen juga tak bergerak memandangi dinding, raut wajahnya tegas yang dingin, sama sekali tak tersisa kelembutan seperti biasanya.
Di koridor rumah sakit yang sunyi, pintu ruang operasi tiba-tiba terbuka.
Semua pandangan tertuju tanpa bergerak ke arah itu.
"Ibu dan bayi perempuan maupun laki-laki selamat loh." Perawat menggendong dua anak mereka dari ruang operasi besar sambil tersenyum: "Ini kakak laki-laki dan adik perempuan, kebetulan ya, selisihnya cuma satu menit."
"Yang mana kakak? Yang mana adik?" Yu Wanqing bergegas mendekat dan bertanya gembira.
"Nonaku Ji adalah kakak laki-laki, Nonaku Wen adik perempuannya."
Begitu kata-kata itu terdengar, udara seolah membeku selama satu detik.
Bisikan sinis Ji Chen bergema perlahan, ia berjalan mendekat dengan tenang lalu menatap lembut kedua bayi dari atas: "Adik baik ya."
"Setuju kan, Direktur Fu?"
Dia tersenyum melirik ke arah Fu Jingshen.
--------------------
Penulis ingin berkomentar:
Kakak ketiga: Tampak menang, tapi sebenarnya kalah
Ada pembaca bertanya mengapa Ji Ying yang fisik lemah masih diberi alur kehamilan.
Sebenarnya tentang apakah Ji Ying akan punya anak dan kapan melahirkan, bagian ini kupikirkan lama. Akhirnya demi kepenulisan dan daya tarik cerita, kutetapkan plot di sini.
Tapi novel tetaplah fiksi, Kakak ketiga akan selamanya baik pada Ji Ying.
Jadi jangan mengaitkannya dengan kenyataan ya!
Di realita jika ada pria mencoba memaksamu punya anak di waktu yang tidak tepat, suruh dia pergi.
